WhatsApp OTP vs Verifikasi SMS: Mana yang Lebih Aman?

WhatsApp OTP vs Verifikasi SMS: Mana yang Lebih Aman? pertanyaan ini sering muncul ketika kita sedang login ke aplikasi, membuka akun baru, atau melakukan transaksi keuangan online.

OTP (One-Time Password) telah menjadi standar emas dalam keamanan digital, semacam kunci sementara yang hanya berlaku satu kali. Tapi pertanyaannya, lebih baik dikirim lewat SMS atau WhatsApp?

Bayangkan Anda sedang belanja online. Klik “beli sekarang,” lalu muncul notifikasi: “Masukkan OTP yang dikirim ke ponsel Anda”.

Nah, saat itulah perbedaan jalur pengiriman jadi krusial. SMS sudah lama jadi pemain utama, tapi kini WhatsApp mulai mencuri panggung.

Kenapa penting membahas ini? Karena hidup digital kita makin terikat dengan OTP.

Dari rekening bank, marketplace, dompet digital, hingga aplikasi kencan semua pakai OTP. Salah pilih metode verifikasi bisa jadi bumerang: data dicuri, transaksi jebol, atau akun diretas.

Jadi, mari kita bedah satu per satu dengan santai tapi tetap serius.

Apa Itu SMS OTP? Sang Veteran yang Mulai Tersudutkan

Kalau bicara SMS OTP, ibarat bicara telepon rumah di era ponsel pintar. Masih ada, tapi perlahan kalah pamor.

SMS OTP sudah jadi metode tradisional selama belasan tahun. Semua orang mengenalnya. Semua operator mendukungnya. Bahkan nenek kita pun masih bisa menerima SMS OTP tanpa perlu install aplikasi aneh-aneh.

Namun, di balik kesederhanaannya, ada jebakan. SMS lebih rawan di-intercept.

Pernah dengar kasus SIM swapping? Itu saat peretas mengkloning kartu SIM Anda, lalu semua SMS OTP yang masuk otomatis masuk ke mereka juga. Ngeri, kan? Belum lagi delay.

SMS OTP kadang datang 10 detik, kadang 5 menit, kadang malah nyasar.

Banyak perusahaan besar mulai mempertimbangkan ulang penggunaan SMS.

Contoh nyata: beberapa bank digital dan startup e-wallet beralih ke aplikasi authenticator atau WhatsApp OTP.

Alasannya jelas, biaya SMS mahal, rawan diretas, dan pengalaman pengguna kadang bikin kesal.

Tapi jangan buru-buru menyingkirkan SMS OTP. Untuk daerah pelosok tanpa internet stabil, SMS OTP masih jadi penyelamat.

Bayangkan jika semua beralih ke WhatsApp, bagaimana dengan masyarakat yang sinyal datanya sering mati suri?

Lalu, bagaimana SMS OTP bekerja?

  1. Permintaan atau Trigger
    Sistem (misalnya aplikasi perbankan, situs web) mendeteksi bahwa pengguna ingin melakukan aksi yang membutuhkan verifikasi tambahan (login, transaksi besar, perubahan data). Sistem kemudian memicu pembuatan OTP.
  2. Pembuatan Kode OTP
    Server menghasilkan kode OTP, biasanya serangkaian angka (misalnya 4–6 digit) atau bisa juga alfanumerik, dengan algoritme acak yang dirancang agar kode tersebut sulit ditebak.
  3. Pengiriman via SMS
    Kode tersebut dikirim ke nomor ponsel yang telah terdaftar sebelumnya melalui jaringan seluler sebagai SMS biasa (tidak terenkripsi end-to-end).
  4. Pengguna Memasukkan Kode
    Pengguna menerima SMS, lalu memasukkan kode ke aplikasi atau situs yang meminta verifikasi agar sistem bisa memverifikasi bahwa pemilik nomor yang melakukan aksi tersebut.
  5. Validasi & Kadaluarsa
    Kode akan diperiksa pada server. Jika cocok dan belum kadaluarsa, verifikasi berhasil. Jika waktu penggunaan sudah lewat atau kode telah dipakai, maka kode menjadi tidak valid.

Baca Juga: CAPTCHA Adalah: Solusi Keamanan Digital

Apa Itu WhatsApp OTP? Pendatang Baru yang Bikin Geger

Lalu datanglah WhatsApp OTP. Bayangkan sistem keamanan yang lebih cepat, murah, dan terasa modern.

WhatsApp punya basis pengguna lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang jadi salah satu pasar terbesar.

Hampir semua orang sudah menginstalnya. Jadi, masuk akal jika OTP mulai dikirim lewat WhatsApp.

Bagaimana cara kerja WhatsApp OTP ini?

  1. Permintaan Verifikasi
    Pengguna memulai aksi yang memerlukan verifikasi (login, transaksi, reset, dsb.). Sistem mencatat bahwa verifikasi diperlukan.
  2. Pembuatan Kode OTP
    Sistem backend menghasilkan kode OTP yang unik dan sementara. Kode ini hanya bisa digunakan sekali dan akan “kadaluarsa” setelah periode waktu tertentu.
  3. Pengiriman via WhatsApp
    Sistem (bisnis) menggunakan WhatsApp Business API atau layanan pihak ketiga yang resmi untuk mengirim pesan berisi OTP ke nomor WhatsApp pengguna. Pesan ini biasanya dikirim dari pengirim yang sudah diverifikasi (business sender) agar pengguna percaya bahwa itu resmi.
  4. Penerimaan & Isian Otomatis (opsional)
    Di beberapa kasus, aplikasi WhatsApp mendukung fitur “security code that automatically fill” yaitu WhatsApp memberi izin agar kode OTP yang masuk bisa terdeteksi dan otomatis diisikan ke aplikasi tujuan (jika aplikasi memiliki integrasi).
  5. Validasi Kode
    Pengguna memasukkan kode OTP ke aplikasi atau sistem yang meminta verifikasi. Sistem memeriksa apakah kode cocok dan belum kadaluarsa. Jika benar, proses verifikasi diterima; jika tidak, ditolak.

Lalu, apa keunggulan WhatsApp OTP ini?

  • Lebih cepat sampai. Notifikasi WhatsApp biasanya real-time.
  • Lebih aman. WhatsApp punya enkripsi end-to-end, jadi pesan OTP lebih sulit dicuri di tengah jalan.
  • Lebih ramah biaya. Perusahaan lebih hemat dibanding mengirim SMS internasional yang harganya bisa selangit.

Namun, bukan berarti tanpa celah. Bagaimana jika akun WhatsApp Anda dibajak? Atau ponsel Anda hilang dan WhatsApp otomatis logout? Risiko tetap ada.

Contoh menarik: beberapa platform e-commerce besar di Indonesia sudah menguji WhatsApp OTP.

Responnya? Pengguna senang karena cepat, perusahaan senang karena hemat. Tapi regulator masih waspada. Ada pertanyaan tentang privasi, kepatuhan hukum, dan infrastruktur.

Jadi, meskipun WhatsApp OTP lebih kekinian, ia masih butuh waktu untuk benar-benar diakui sebagai standar.

Pertarungan Keamanan: Mana yang Lebih Kokoh?

Mari kita adu kekuatan. Kalau keamanan jadi tolok ukur utama, siapa yang lebih unggul dalam WhatsApp OTP vs Verifikasi SMS?

SMS OTP:

SMS OTP memang punya kelemahan utama dalam hal keamanan. Berikut penjelasan yang lebih mendalam tentang bagaimana SMS OTP rentan terhadap SIM swapping, phishing, dan malware:

SIM Swapping

SIM swapping (atau SIM hijacking) terjadi ketika pelaku berhasil meyakinkan operator telekomunikasi untuk memindahkan nomor telepon korban ke kartu SIM yang dikendalikan pelaku. Setelah itu, semua SMS, panggilan, dan kode OTP akan diterima oleh pelaku, bukan lagi korban.

Pelaku biasanya menggunakan teknik rekayasa sosial (social engineering), memanfaatkan data pribadi korban yang diperoleh lewat kebocoran data atau phishing, lalu menghubungi layanan operator dengan berpura-pura menjadi korban.

Dengan kontrol atas nomor tersebut, pelaku dapat mereset kata sandi layanan online korban (misalnya email, perbankan) dengan memanfaatkan SMS OTP sebagai metode verifikasi kedua.

Karena itu, meskipun pemilik akun masih memiliki kata sandi yang benar, kontrol atas nomor telepon memungkinkan pelaku melewati proteksi OTP dan mengambil alih akun korban.

Phishing (serangan penipuan)

Dalam konteks SMS OTP, pelaku menggunakan teknik phishing untuk menipu korban agar mereka menyerahkan OTP secara sukarela.

Misalnya, pelaku mengirim email atau SMS palsu yang tampak berasal dari bank atau layanan resmi, meminta korban untuk memasukkan OTP pada situs palsu.

Setelah korban memasukkan kode tersebut, pelaku langsung menggunakan OTP itu untuk masuk ke akun korban.

Karena OTP sering dianggap sebagai “kode sah” untuk login atau transaksi, korban cenderung percaya dan langsung memasukkannya, tanpa sadar bahwa mereka sedang ditipu. Teknik ini kadang disebut smishing (SMS phishing).

Phishing semacam ini efektif karena pengguna sendiri membantu “menyerahkan” kunci akses mereka, jadi pelaku tidak perlu repot mengintersepsi SMS secara teknis, cukup gunakan tipu daya sosial.

Malware di Ponsel

Jika ponsel korban sudah terinfeksi malware, terutama malware jenis banking Trojan atau spyware, maka OTP yang masuk melalui SMS bisa langsung disadap sebelum pengguna sempat membacanya.

Dalam kasus seperti ini, aplikasi jahat dapat membaca pesan SMS sistem atau mem-forward-nya ke pelaku.

Malware juga bisa memodifikasi transaksi: misalnya pengguna diminta memasukkan OTP dalam aplikasi pembayaran, tapi malware mengubah tujuan transaksi menjadi milik penyerang.

Dengan demikian, meskipun pengguna mungkin tidak tertipu melalui phishing atau kehilangan kontrol atas nomor, perangkat yang sudah disusupi malware membuat sistem OTP lewat SMS tidak lagi aman.

Secara keseluruhan, metode SMS OTP, meskipun dulu cukup efektif sebagai faktor kedua, sekarang sangat rentan terhadap berbagai serangan canggih.

Karena itu, banyak pakar keamanan menganjurkan penggunaan metode autentikasi yang lebih kuat seperti aplikasi autentikator, token fisik (hardware key), atau autentikasi berbasis perangkat (passkey).

malware whatsapp otp

WhatsApp OTP:

WhatsApp OTP umumnya lebih aman dibanding SMS OTP karena pesan dikirim lewat end-to-end encryption (E2EE) berbasis Signal Protocol, sehingga kode tidak bisa disadap di jaringan atau oleh penyedia layanan perantara, hanya pengirim dan penerima di perangkat mereka yang bisa membaca pesan tersebut.

Namun, “lebih aman” ≠ “kebal serangan.” Risiko muncul di endpoint: jika akun atau perangkat WhatsApp Anda diambil alih (misalnya ditipu membocorkan kode 6 digit saat pendaftaran ulang, atau dipancing memindai QR yang menautkan sesi WhatsApp Web), penyerang dapat membaca seluruh pesan masuk, termasuk OTP dan menggunakannya untuk membajak layanan lain.

Ancaman lain berasal dari malware Android (banking trojan) yang memanfaatkan izin akses notifikasi/overlay untuk mencuri konten pesan atau menampilkan layar palsu; jika ponsel terinfeksi, OTP WhatsApp juga bisa terekspos.

Di sisi kanal, WhatsApp memang menghindari kelemahan PSTN/SMS (seperti risiko SS7, SIM change/port-out) yang sejak lama diperingatkan sebagai titik lemah oleh pedoman NIST SP 800-63B; ini menjelaskan mengapa banyak institusi menilai pengiriman OTP via aplikasi terenkripsi lebih kuat daripada SMS biasa.

Namun begitu SIM swap tetap berbahaya: jika nomor Anda berhasil dipindahkan ke SIM penyerang, ia bisa mendaftar ulang WhatsApp di perangkatnya dan menerima pesan, including OTP atas nama Anda.

Karena itu, praktik terbaiknya adalah aktifkan two-step verification/PIN WhatsApp, jangan pernah membagikan kode verifikasi, dan pakai aplikasi resmi (hindari “WhatsApp mod”/tiruan) agar peluang pengambilalihan akun dan kebocoran OTP turun signifikan.

Ingin tahu yang lebih menarik? Menurut laporan cybersecurity internasional, lebih dari 75% serangan OTP yang berhasil berasal dari SMS. Sementara serangan lewat WhatsApp OTP masih jarang, tapi tetap ada kasus.

Pertanyaannya, apakah kita sedang menukar satu jenis risiko dengan risiko lain? SMS kalah di aspek enkripsi, WhatsApp kalah di aspek “ketergantungan pada aplikasi pihak ketiga”.

Jika WhatsApp down (yang sering terjadi beberapa jam sekali dalam setahun), akses OTP bisa terganggu.

Pengalaman Pengguna: Faktor X yang Tak Bisa Diabaikan

Mari jujur: siapa di sini yang sering mengeluh “OTP SMS nggak masuk-masuk”? Nah, pengalaman pengguna itu penting. Di sinilah WhatsApp OTP unggul telak.

Bayangkan Anda sedang terburu-buru masuk ke aplikasi trading. SMS OTP tak kunjung tiba, Anda kehilangan peluang emas. Lalu coba bandingkan dengan WhatsApp OTP yang muncul dalam 2 detik. Rasanya seperti langit dan bumi.

Bahkan dari sisi tampilan, WhatsApp OTP lebih user-friendly. Pesan bisa muncul di notifikasi dengan desain yang rapi, mudah diklik, bahkan bisa otomatis terbaca oleh sistem auto-fill.

Namun, ada kasus yaitu ada pengguna yang panik karena mengira pesan OTP dari WhatsApp adalah pesan penipuan. Ya, literasi digital juga penting.

Masih banyak orang yang bingung membedakan mana pesan resmi, mana yang palsu.

Fenomena seperti itu memang terjadi dan sebenarnya sangat wajar dalam konteks literasi digital yang belum merata. Banyak orang menjadi panik atau curiga ketika menerima pesan yang tampak “resmi” tetapi mengandung OTP (One-Time Password) lewat WhatsApp atau aplikasi lain, karena mereka takut itu jebakan penipuan.

Namun, banyak pengguna belum terbiasa atau belum diberi pemahaman yang cukup bahwa OTP bisa dikirim lewat media selain SMS.

Kalau tiba-tiba mereka menerima pesan berisi kode verifikasi (OTP) di WhatsApp, ada reaksi instan: “Apakah ini penipuan?”, khususnya jika mereka tak menginisiasi suatu tindakan yang memicu OTP tersebut (misalnya login ulang, membuat akun baru, mengganti nomor).

Reaksi ini wajar: kita selalu diajari agar berhati-hati terhadap pesan yang meminta kode, link, atau data pribadi.

Masalahnya, penipu pun memanfaatkan kebingungan ini. Mereka bisa berpura-pura menjadi “teman” atau “dukungan teknis” dan berkata: “Maaf, saya salah kirim OTP ke Anda, tolong kirim kembali kode tersebut”.

Bila pengguna panik dan terburu-buru merespons, mereka bisa jatuh dalam perangkap.

Artikel dari Cyber Fraud Centre menyoroti skema semacam ini: penipu memulai dengan memicu verifikasi untuk nomor korban, kemudian menghubungi korban lewat WhatsApp berpura-pura meminta OTP tersebut agar “nemeriksa sesuatu”, dan setelah korban menyerahkan kode, akun korban diambil alih.

Salah satu laporan menyebut bahwa skema “kode verifikasi WhatsApp” sudah digunakan untuk meretas akun dan selanjutnya menyebar penipuan ke kontak korban.

Bahkan di Reddit, ada pengguna yang mengeluhkan bahwa nomor tak dikenal sering mengirim OTP terus-menerus ke ponselnya, yang memicu kekhawatiran:

“this number keeps on sending OTP everytime I login to my social app …”

Dengan demikian, literasi digital, khususnya pemahaman bagaimana OTP bekerja, bagaimana pesan resmi berbeda dari penipuan, dan bagaimana cara memverifikasi keaslian pesan, menjadi sangat penting.

Tanpa pemahaman itu, meski metode keamanan sudah canggih, manusia tetap menjadi titik paling rentan.

Biaya dan Efisiensi: Siapa yang Lebih Ekonomis?

Perusahaan selalu memikirkan biaya. Mengirim SMS OTP, apalagi lintas negara, bisa menguras kantong. Harga per SMS bisa bervariasi, tapi jika jutaan OTP dikirim tiap hari, totalnya jadi luar biasa.

WhatsApp OTP datang dengan tawaran manis: biaya lebih rendah, jangkauan luas, dan integrasi cepat. Tak heran banyak startup lebih memilih WhatsApp OTP untuk efisiensi operasional.

Namun, jangan lupa: biaya rendah bukan berarti tanpa konsekuensi. Infrastruktur WhatsApp sepenuhnya milik Meta.

Jika suatu hari ada perubahan kebijakan atau harga, perusahaan pengguna WhatsApp OTP bisa kelabakan.

SMS OTP, meski mahal, punya ekosistem yang lebih “resmi” karena didukung operator telekomunikasi.

Nah, berikut contoh risiko perubahan kebijakan atau harga

  1. Model harga WhatsApp berubah
    Mulai 1 Juli 2025, WhatsApp Business (melalui API / platform) beralih dari model “biaya per percakapan” menjadi “biaya per pesan” (per-message) berdasarkan kategori pesan (authentication, utility, marketing). Artinya, setiap pesan OTP yang dikirim ke pengguna akan dikenakan biaya, jika volume pengiriman besar, total biaya bisa melonjak drastis. Bagi perusahaan yang belum mempersiapkan anggaran atau strategi optimalisasi, perubahan model ini bisa mengejutkan dan berdampak pada margin operasi.
  2. Biaya lokal & tarif negara
    Tarif per pesan WhatsApp tergantung negara / wilayah pengguna. Jadi jika perusahaan beroperasi lintas provinsi atau negara, biaya bisa berbeda dan bisa tinggi di daerah tertentu. Jika pemerintah atau regulator lokal juga menetapkan pajak komunikasi digital, itu bisa menambah beban biaya.
  3. Regulasi & persyaratan operator / telekomunikasi
    Negara mungkin mengatur penyampaian pesan melalui operator lokal, atau menetapkan batasan teknis atau kepatuhan (misalnya penyaring, persetujuan template, regulasi data). Jika regulasi di masa depan melarang atau membatasi penggunaan platform seperti WhatsApp untuk OTP, perusahaan bisa kesulitan. Sedangkan SMS memakai infrastruktur operator telekomunikasi yang sudah diatur sedemikian rupa sebagai layanan dasar di banyak negara, sehingga dianggap “resmi” dan lebih stabil terhadap regulasi komunikasi dasar.
  4. Ketergantungan pada pihak ketiga
    Jika platform WhatsApp mengalami gangguan, pemblokiran akun bisnis (misalnya pelanggaran kebijakan), atau API bermasalah, operasi OTP bisa terganggu. Dengan SMS, meskipun juga ada risiko (misalnya operator down), perusahaan bisa langsung bekerja sama dengan operator / penyedia SMS lokal / national yang lebih dekat dan lebih mudah berkoordinasi.
  5. Volatilitas penggunaan & biaya tak terduga
    Di masa puncak (promo, hari belanja besar, event), volume pengiriman melesat. Biaya WhatsApp per pesan bisa menjadi beban besar jika tidak diantisipasi, kemungkinan overbudget. Jika perusahaan sudah mengurangi infrastruktur SMS, lalu tiba-tiba harus kembali menggunakan SMS karena WhatsApp macet atau tarif terlalu tinggi, mereka bisa “kelabakan” dari sisi integrasi, kapasitas, kontrak penyedia SMS.
Biaya dan Efisiensi Siapa yang Lebih Ekonomis

Regulasi dan Kepercayaan Publik

Aspek lain yang sering dilupakan adalah regulasi. SMS OTP sudah lama diatur oleh otoritas telekomunikasi. Ada standar keamanan, ada prosedur jika terjadi penyalahgunaan.

WhatsApp OTP masih relatif baru. Regulator di Indonesia misalnya, masih menilai apakah WhatsApp OTP bisa dipakai sebagai standar autentikasi resmi di sektor keuangan.

Beberapa bank konservatif masih bertahan dengan SMS karena alasan regulasi ini.

Kepercayaan publik juga berperan. Banyak orang merasa “lebih resmi” kalau OTP dikirim lewat SMS. WhatsApp masih dianggap “aplikasi chat biasa.” Butuh waktu untuk mengubah persepsi ini.

Jika ditanya WhatsApp OTP vs Verifikasi SMS, mana yang lebih aman?, jawabannya: relatif. WhatsApp OTP unggul dalam kecepatan, keamanan enkripsi, dan biaya.

SMS OTP unggul dalam cakupan luas, regulasi jelas, dan akses bagi masyarakat tanpa internet stabil.

Solusi ideal? Kombinasi. Biarkan pengguna memilih jalur OTP sesuai kebutuhan mereka. Untuk wilayah urban dengan internet kencang, WhatsApp OTP bisa jadi opsi utama.

Untuk daerah rural, SMS OTP tetap relevan. Yang jelas, masa depan keamanan digital butuh lebih dari sekadar OTP mungkin biometrik, autentikasi multi-faktor, atau teknologi baru yang lebih kuat.

1. Apakah SMS OTP sudah tidak aman lagi?

Tidak sepenuhnya. SMS OTP masih aman jika operator dan pengguna menjaga keamanan SIM. Namun, risiko SIM swapping membuatnya lebih rentan dibanding WhatsApp OTP.

2. Kenapa banyak startup beralih ke WhatsApp OTP?

Karena lebih murah, lebih cepat, dan lebih ramah pengguna. Startup butuh efisiensi tinggi, dan WhatsApp OTP menawarkan itu.

3. Apakah WhatsApp OTP bisa dipakai semua orang?

Tidak. WhatsApp OTP butuh internet. Jika sinyal data buruk, SMS OTP masih lebih bisa diandalkan.

4. Bagaimana cara membedakan OTP asli dan palsu?

OTP asli biasanya hanya berisi kode singkat dan datang dari nomor resmi atau akun WhatsApp bisnis terverifikasi. Jangan pernah membagikan OTP ke siapa pun.

5. Apa WhatsApp OTP lebih cocok untuk transaksi keuangan?

Secara teknis, iya, karena enkripsi lebih kuat. Namun, tergantung apakah regulator mengizinkan.

6. Apakah OTP akan digantikan teknologi lain?

Kemungkinan besar. Teknologi biometrik dan autentikasi multi-faktor sedang berkembang pesat. OTP mungkin hanya jadi salah satu lapisan keamanan di masa depan.

7. Bagaimana jika WhatsApp down?

Itu risiko nyata. Jika WhatsApp down, pengguna tidak bisa menerima OTP. Karena itu, penting ada opsi cadangan seperti SMS OTP.

8. Apa bedanya WhatsApp OTP dengan aplikasi authenticator?

WhatsApp OTP tetap dikirim lewat server eksternal. Authenticator menghasilkan kode langsung di ponsel Anda, sehingga lebih aman karena tidak melewati jalur internet atau SMS.

9. Apakah perusahaan bisa memaksa pengguna pakai WhatsApp OTP?

Bisa saja, tapi biasanya mereka memberi opsi. Perusahaan besar cenderung memberi pilihan SMS atau WhatsApp sesuai preferensi pengguna.

10. Jadi, harus pilih yang mana?

Kalau sering di kota dengan internet bagus, WhatsApp OTP lebih praktis. Kalau sering di daerah tanpa data stabil, SMS OTP masih jadi pilihan aman.

Safira Haddad, Penulis Konten Profesional yang berpengalaman 2+ tahun dalam dunia kepenulisan dan berdedikasi di Upgraded.id. Kemampuan utama, SEO dan Content Writing.

You might also like