
Apakah kamu pernah merasa lelah harus buka banyak aplikasi hanya untuk memastikan jualanmu lancar? Marketplace, e-commerce, media sosial, bahkan email kadang bikin pusing.
Nah, sekarang bayangkan semua itu bisa di-handle lewat satu aplikasi yang sudah jadi bagian hidup banyak orang yaitu dengan WhatsApp.
Yap, inilah era WhatsApp Commerce, strategi untuk UMKM meningkatkan penjualan online.
Mari jujur sebentar. Apa yang pertama kali kita buka ketika bangun tidur? Sebagian besar akan menjawab: WhatsApp.
Menurut riset terbaru dari We Are Social dan Meltwater, WhatsApp dinobatkan sebagai aplikasi media sosial yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2025.
Dalam survei Digital 2025 Global Overview Report yang dirilis pada Februari 2025, WhatsApp tercatat sebagai media sosial yang paling sering diakses oleh masyarakat Indonesia setiap bulannya.
Secara rinci, WhatsApp adalah aplikasi favorit bagi orang Indonesia tiap bulannya dengan tingkat penggunaan mencapai 91,7 persen. Di posisi kedua dan ketiga adalah platform lain milik Meta, yakni Instagram dan Facebook, dengan persentase pengguna masing-masing sebesar 84,6 persen dan 83 persen.
Artinya, WhatsApp bukan sekadar platform chat; ia sudah menjadi pintu gerbang interaksi sehari-hari.
Nah, di sinilah WhatsApp Commerce mengambil peran penting. Bayangkan pelangganmu sedang rebahan, tiba-tiba dapat notifikasi pesan: “Halo, produk kopi Arabika favorit Anda lagi diskon 20% hari ini. Mau saya kirimkan link ordernya?” Rasanya personal, cepat, dan langsung to the point. Tidak ada browsing panjang di marketplace. Tidak ada distraksi produk pesaing.
WhatsApp Commerce memungkinkan perjalanan konsumen (customer journey) yang lebih alami karena semua tahap, dari menemukan produk, bertanya, hingga membeli, bisa dilakukan dalam satu aplikasi percakapan.
Pada tahap discovery, brand bisa mendorong calon pelanggan untuk membuka chat lewat tombol “Chat via WhatsApp”, iklan “Click-to-WhatsApp”, atau QR code, sehingga pengguna langsung masuk ke percakapan tanpa harus pergi ke website terlebih dahulu.
Setelah berada di chat, fitur katalog produk dengan gambar, harga, dan deskripsi memungkinkan pengguna menjelajah produk (explore), tanpa pindah aplikasi.
Ketika pelanggan tertarik dan memiliki pertanyaan, mereka bisa langsung berdialog lewat chat, baik dengan bot maupun agen live, meminta klarifikasi, membandingkan opsi, atau melihat media seperti foto atau video untuk membantu keputusan (fase consideration).
Terakhir, ketika konsumen siap membeli, WhatsApp bisa menyediakan tombol “Beli Sekarang”, link pembayaran, atau integrasi dengan sistem e-commerce agar transaksi bisa selesai langsung di dalam chat (fase conversion).
Seluruh alur ini mengurangi gesekan (friction) karena pengguna tidak harus pindah aplikasi, mengisi ulang halaman, atau menyalin link, semuanya berjalan dalam satu antarmuka yang sudah mereka kenal sehari-hari.
Tapi ada hal menarik: UMKM bisa memanfaatkan kebiasaan “cepat bales chat” orang Indonesia.
Beberapa sumber lain mengutip bahwa pada riset HBR / studi terkait (Lead Response Management), merespons dalam satu jam bisa tujuh kali lebih mungkin untuk menghasilkan percakapan yang bermakna dibandingkan jika merespons setelah dua jam.
Sekarang, pertanyaannya: apakah UMKM bisa tampil sekelas brand besar hanya dengan WhatsApp? Jawabannya: bisa banget, asal tahu strateginya.
UMKM bisa tampil sekelas brand besar hanya dengan WhatsApp, asalkan mereka menjalankan strategi yang tepat.
Dengan memanfaatkan WhatsApp Business / API, UMKM dapat membangun profil usaha yang profesional (profil lengkap, logo, deskripsi usaha, jam operasional), memajang katalog produk dengan foto-foto berkualitas dan deskripsi yang jelas, serta menggunakan fitur-fitur automasi (balasan cepat, pesan standar, chatbot) agar respons tetap cepat dan konsisten.
Di sisi lain, brand besar sering unggul karena citra, UMKM juga bisa membangun citra yang kuat lewat storytelling (kisah di balik produk, proses, nilai-nilai usaha) serta menjaga kualitas interaksi pelanggan (ramah, cepat, personal).
Ketika pelanggan melihat bahwa komunikasi, pelayanan, dan pengalaman belanja lewat WhatsApp terasa mulus dan profesional, maka persepsinya terhadap UMKM bisa setara dengan brand besar.
Kemudian ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui:
Jadi, dengan konsistensi, kualitas konten, automasi cerdas, dan pelayanan pelanggan yang baik, UMKM bisa “bermain di liga yang sama” dengan brand besar melalui WhatsApp.
Adapun strategi langkah demi langkah supaya UMKM bisa tampil sekelas brand besar hanya dengan WhatsApp (dengan memaksimalkan fitur + pendekatan profesional + konsistensi):
1. Fondasi profesional: profil & kredibilitas
2. Tampilkan katalog produk secara menarik & terstruktur
3. Automasi chat & balasan cepat, tapi tetap terasa “manusia”
4. Segmentasi & komunikasi yang relevan
5. Follow-up cepat & otomatis
6. Layanan purna jual & retensi
7. Ukur & optimalkan
Dengan menerapkan strategi di atas secara konsisten kualitas tampilan, respons cepat, automasi yang pintar, komunikasi yang relevan, dan pengukuran performa UMKM punya peluang besar untuk tampil dan berfungsi sekelas brand besar hanya lewat WhatsApp.
Baca Juga: Jenis Storytelling Marketing Untuk Promosi yang Menarik Perhatian
Pernah dengar cerita kalau otak manusia lebih cepat menangkap cerita daripada angka?
Nah, konsep neuroscience storytelling bahwa saat mendengar cerita, bagian otak yang memproses pengalaman sensorik, emosi, dan memori ikut aktif, tidak hanya area bahasa, dapat juga secara strategis diterapkan pada WhatsApp Commerce.
Hal ini terjadi karena cerita yang baik dapat memicu pelepasan hormon seperti oksitosin (terkait dengan kepercayaan dan empati) dan dopamin (terkait dengan perhatian dan ingatan), membuat pesan menjadi lebih berdampak dan mudah diingat dibandingkan sekadar data atau fakta kering (Marketing Essentials Lab, The Storytelling Business).
Dalam konteks WhatsApp Commerce, strategi ini dapat diimplementasikan dengan mengirimkan pesan yang mengandung narasi yang relevan, seperti kisah transformasi pelanggan setelah menggunakan produk, cerita di balik layar proses pembuatan atau nilai merek, atau tantangan yang berhasil diatasi produk tersebut (mirip dengan struktur konflik-solusi).
Dengan mengubah pesan penjualan (misalnya, chat promosi) menjadi mini-story yang menggugah emosi dan imajinasi, merek tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun koneksi emosional dan kepercayaan yang mendalam dengan konsumen secara personal dan langsung melalui platform perpesanan tersebut.
Bayangkan begini:
Alih-alih sekadar bilang: “Batik tulis Rp350.000, ready stock.”
Coba pakai storytelling: “Halo, Mbak Rani. Ini batik tulis baru dari pengrajin Pekalongan. Motifnya terinspirasi dari bunga melati, lambang kesucian. Kalau Mbak suka tampil elegan di acara keluarga, batik ini cocok sekali. Harganya Rp350.000, free ongkir hari ini.”
Lihat bedanya? Ada cerita, ada personalisasi, dan ada urgensi.
Branding yang humanis lewat WhatsApp Commerce membuat UMKM terasa lebih akrab dan tidak “jualan keras” pelanggan merasa diajak ngobrol, bukan dibombardir iklan.
Ketika interaksi terasa personal (menggunakan sapaan, nada ramah, respons yang cepat), itu menciptakan kedekatan emosional pelanggan percaya bahwa mereka berkomunikasi dengan “orang di balik merek”, bukan sistem otomatis semata.
Strategi ini sangat potensial untuk meningkatkan repeat order, karena orang cenderung kembali ke tempat yang memberi pengalaman menyenangkan dan tidak terasa seperti transaksi dingin.
Menunjang pendekatan tersebut, WhatsApp Business menyediakan fitur katalog dengan foto, harga, dan deskripsi produk sehingga pelanggan bisa “window shopping” langsung dalam chat tanpa harus keluar aplikasi yang menciptakan alur belanja yang mulus dan intuitif.
Selain itu, fitur Quick Reply memungkinkan jawaban otomatis terhadap pertanyaan umum (stok, harga, ongkir) dalam hitungan detik, menjaga respons tetap cepat dan konsisten (tanpa terkesan kaku).
Dengan kombinasi gaya komunikasi hangat + fitur profesional ini, UMKM bisa tampil lebih meyakinkan tanpa memerlukan toko fisik megah dan sekaligus memperkuat hubungan dengan pelanggan agar mereka mau kembali belanja.
WhatsApp Commerce memang bisa menjadi solusi efektif bagi UMKM yang punya tim kecil, beban kerja besar, dan waktu yang terbatas.
Dengan fitur-fitur automasi dan organisasi pesan, usaha kecil bisa mengurangi beban manual dalam mengelola pertanyaan pelanggan, order, dan follow-up.
Misalnya, WhatsApp Business memiliki fitur pesan otomatis (greeting message, pesan tidak hadir), balas cepat (quick replies), dan label percakapan untuk mengkategorikan chat berdasarkan status (baru, menunggu, selesai), sehingga pemilik usaha tidak perlu mengetik jawaban yang sama berulang kali.
Dalam sebuah studi kasus UMKM “JacRental”, penggunaan WhatsApp Business menunjukkan bahwa waktu respon menurun drastis, dari 10–15 menit menjadi hanya 2–3 menit serta kesalahan pencatatan order bisa ditekan dari sekitar 20 % menjadi 5 %.
Hal ini menunjukkan bahwa WhatsApp tidak hanya mempercepat interaksi, tetapi juga meningkatkan akurasi operasional.
Dengan demikian, meskipun tim terbatas dan waktu terbatas, UMKM dapat “menyiasati” keterbatasan itu melalui automasi, pengaturan chat yang rapi, dan fitur komunikasi yang sudah tersedia di WhatsApp Business / Commerce menjadikan pengelolaan pelanggan dan proses penjualan lebih efisien tanpa harus menambah beban kerja manusia secara proporsional.
Mari kita ilustrasikan. Bayangkan sebuah warung kopi kecil di Malang yang setiap hari harus balas 200 chat pelanggan: tanya menu, diskon, stok kopi. Kalau semua dijawab manual? Bisa-bisa baristanya lebih sibuk mengetik daripada bikin kopi.
Dengan WhatsApp Commerce, semua bisa otomatis:
Lalu, bagaimana hasilnya?
Waktu lebih efisien, pelanggan lebih puas, penjualan meningkat.
Dan jangan salah, data pelanggan dari WhatsApp bisa dipakai untuk strategi berikutnya.
Misalnya, siapa yang sering beli produk X, siapa yang berhenti belanja dalam 3 bulan terakhir. Semua itu bisa diolah jadi insight marketing.
Satu hal penting: efisiensi bukan berarti kehilangan sentuhan personal. Justru dengan otomasi, UMKM bisa fokus memberi pelayanan yang benar-benar berarti di momen penting.
Ada pertanyaan menarik: “Kalau sudah jualan di Shopee, Tokopedia, atau TikTok Shop, masih perlu WhatsApp Commerce?” Jawabannya: iya, bahkan wajib.
Marketplace memang powerful, tapi jangan lupa: mereka punya keterbatasan. Algoritma bisa berubah. Saingan produk banyak. Brand kecil sering kalah visibilitas dengan iklan brand besar.
Di sinilah WhatsApp Commerce berperan sebagai ekosistem pribadi. UMKM bisa membangun database pelanggan sendiri tanpa tergantung algoritma. Setiap nomor WhatsApp yang masuk adalah aset jangka panjang.
Bahkan, WhatsApp Commerce bisa jadi jembatan antara marketplace dan loyalitas. Contoh: setelah beli di Shopee, pelanggan diarahkan untuk follow-up order lewat WhatsApp. Dari situ, mereka bisa ditawari promo eksklusif atau membership.
UMKM yang pintar akan menggabungkan semua channel: marketplace untuk awareness, WhatsApp untuk retention. Kombinasi ini terbukti meningkatkan lifetime value pelanggan.
Kita tidak bisa bicara WhatsApp Commerce tanpa menyinggung teknologi. Tools automation semakin banyak:
Lalu, apakah semua UMKM harus pakai tools mahal? Tidak selalu. Mulailah dengan WhatsApp Business gratis yang sudah cukup mumpuni. Kalau bisnis berkembang, barulah naik kelas ke API.
Yang lebih menarik lagi, AI mulai merambah WhatsApp Commerce. Bayangkan chatbot yang bukan hanya jawab pertanyaan standar, tapi bisa paham konteks, kasih rekomendasi produk, bahkan melakukan upselling.
Dan coba pikir: apakah pelanggan akan keberatan dilayani AI? Tidak juga, asalkan terasa natural. Buktinya, banyak orang sudah terbiasa ngobrol dengan chatbot e-commerce tanpa sadar.
Intinya, WhatsApp Commerce bukan sekadar tren, tapi sudah menjadi strategi wajib bagi UMKM untuk bertahan dan berkembang.
Dengan memanfaatkan kebiasaan pengguna, storytelling humanis, efisiensi operasional, integrasi ekosistem, dan dukungan teknologi, UMKM bisa tampil profesional, dekat dengan pelanggan, sekaligus meningkatkan penjualan.
Kalau dulu WhatsApp hanya dipakai untuk janjian nongkrong, sekarang ia sudah jadi toko, kasir, dan customer service dalam satu aplikasi. Pertanyaannya sederhana: apakah bisnismu sudah siap masuk ke era WhatsApp Commerce?
WhatsApp Commerce adalah strategi berjualan dan mengelola pelanggan lewat fitur WhatsApp, mulai dari katalog, chat, hingga pembayaran.
Ya, baik bisnis makanan, fashion, jasa, hingga produk digital bisa memanfaatkannya.
Tidak sepenuhnya. Marketplace bagus untuk awareness, WhatsApp Commerce lebih kuat untuk loyalitas pelanggan.
Cukup download WhatsApp Business, isi profil lengkap, buat katalog, dan gunakan fitur broadcast.
Tidak. Mulai gratis dengan WhatsApp Business, lalu upgrade sesuai kebutuhan dengan API atau tools pihak ketiga.
Gunakan metrik seperti jumlah chat masuk, conversion rate, repeat order, dan retention pelanggan.
Ya, banyak tools integrasi seperti Qontak atau API resmi WhatsApp yang mendukung hal ini.
Sangat nyaman, karena WhatsApp adalah aplikasi sehari-hari yang familiar.
Masa depannya cerah. Dengan dukungan AI, integrasi pembayaran, dan penetrasi pengguna yang tinggi, WhatsApp Commerce akan jadi tulang punggung penjualan UMKM di era digital.
Safira Haddad, Penulis Konten Profesional yang berpengalaman 2+ tahun dalam dunia kepenulisan dan berdedikasi di Upgraded.id. Kemampuan utama, SEO dan Content Writing.